Banjir di Kotaku
Persoalan banjir begitu menyita pikiran, perasaan, dan merusak daya dukung hidup. Banjir sebagai bencana alam dapat dimaklumi karena bersifat alamiah. Namun apabila setiap hujan turun terjadi banjir pastilah harus ada yang tidak beres, dan harus ditemukan Solusi penangananya yang komprehensip. Karena salah satu yang harus jujur diakui bahwa setiap warga kota Medan yang terdampak banjir pastilah akan menderita beragam kerugian material dan immaterial.
Selain banjir itu merusak aset/rumah warga dengan segala isinya, banjir pun merusak pemandangan kota. Parit-parit di pinggir badan jalan raya atau parit di depan rumah-rumah penduduk tidak mampu menampung jumlah volume air yang turun apalagi melimpah. Mengapa hal ini terjadi berkali-kali?
Jaya Arjuna, Dosen Teknik Lingkungan USU telah membuat buku dengan judul Banjir Medan Bebas Dimana-mana, mengutarakan hal tersebut dengan terang-terangan pada diskusi kebudayaan Deli Art Community di bulan September 2024 lalu di Ola Kafe, di mana diskusi berlangsung sangat seru selama tiga jam. Jaya memulai dengan mengajukan informasi bahwa kota Medan memiliki kanal yang dibangun secara bertahap oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mendukung industri perkebunan dan juga difungsikan untuk mengantisipasi banjir. Namun sangat disayangkan menurutnya bahwa berdasarkan peta bentangan kanal itu, pemerintah kota Medan seolah menafikan eksistensinya. Hal ini dibuktikan dengan berdiri banyak bangunan berupa komplek perumahan, ruko (rumah toko) dan jalan yang di bawahnya merupakan jalur kanal.
“Secara teknis banjir bisa diselesaikan, asalkan ada good will dari pemerintah. Di kota ini hanya ada dua sungai yakni Babura dan Deli, sisanya adalah kanal sepanjang 200 kilometer yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda bertujuan menangani banjir dan menopang industri perkebunan saat itu yang diabaikan eksistensinya,” kata Jaya Arjuna yang memaparkan bagaimana mengantisipasi banjir dari hulu hingga hilir bahkan dengan penggunaan alat-alat yang sebenarnya terbilang murah.
Ditemani hujan yang cukup deras, diskusi berlangsung sangat hebat. Beberapa peserta yang hadir bukan sekedar pendengar budiman, tetapi punya banyak pengetahuan dan pengalaman menciptakan diskusi itu semakin menarik, inspiratif mampu menguak banyak aspek.
“Selama kita disiplin, punya komitmen, memahami siklus alam, mengetahui tempat hunian dengan pengetahuan yang cukup, banjir dapat diatasi,” Yance pun menambahkan seraya memberikan peta alur berpikir menangani banjir. “Namun yang paling penting adalah komitmen dari pemerintah kota Medan, mau apa tidak banjir ini dituntaskan sampai ke akar-akarnya atau tidak,” katanya masygul.
Jaya Arjuna memberikan pemaparan yang sangat dari hulu hingga hilir bagaimana penanganan banjir dengan alat-alat yang sebenarnya murah, asalkan digunakan untuk penanganan banjir. Lebih jauh sebuah komentar dikemukan pada diskusi itu, “Selama masa kolonial setahu saya justru banjir seperti yang kita rasakan saat ini tidak pernah terjadi,” Nasrul Hamdani, angkat bicara sambil mengetengahkan persoalan mentalitas, segregasi sosial dan sejarah terbangunnya kota Medan dengan panjang lebar.