Berapa Harga Demokrasi di Republik?
Oleh: Yance
Pertanyaan di atas belum pernah dijawab secara serius melalui penelitian empirik yang bermutu tinggi. Mungkin para pakar ekonomi politik menganggap pertanyaan itu tidak penting, karena kesakralan konsep demokrasi. Untuk sebuah kesakralan, urusan yang menyangkut harga atau biaya jadi tidak relevan dibahas. Berapa pun harga yang dituntut untuk itu pasti akan dibayarkan.
Untuk mengoperasionalkan konsep demokrasi, salah satu instrumen utamanya adalah pemilihan umum (pemilu) agar bisa memilih anggota dewan perwakilan rakyat dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Anggota dewan perwakilan rakyat akan menjalankan tugas / fungsi sebagai pembuat undang undang dan mengawasi jalannya pemerintahan yang dalam bahasa kerennya disebut fungsi legislatif. Pemilu menjadi ritual wajib bagi sebuah negara untuk dapat digolongkan sebagai negara demokrasi. Negara yang dinilai tidak demokratis, akan dianggap sebagai negara paria, dikucilkan dalam tata pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu status negara demokrasi wajib dicapai, dengan konsekuensi harus menyelenggarakan pemilu secara rutin, terjadwal, tidak peduli berapa pun biayanya.
Berapa harga sebuah pemilu di Republik Indonesia ini? Penulis lebih suka menggunakan kata Republik saja untuk menyebutkan Indonesia. Tidak ada lembaga, kelompok, individu yang dapat menghitung dengan akurat berapa biaya riel yang dikeluarkan. Angka resmi yang diumumkan pemerintah, hanya biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dapat dipastikan biaya ril yang dikeluarkan jauh lebih besar.
Jangankan menghitung nilai nominal biaya yang dikeluarkan, mengidentifikasi komponen biayanya saja sudah merupakan pekerjaan maha sulit. Sebagai contoh kecil biaya yang dapat diidentifikasi antara lain biaya transportasi rakyat pemilih dari rumah ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tidak teridentifikasi dan tidak terhitung biaya yang dikeluarkan oleh pengurus partai politik dari level pusat, daerah, cabang, ranting, calon anggota legislative sampai simpatisan parpol.
Realitas itu menimbulkan pertanyaan penting, mengapa biaya pemilu di Republik demikian mahal? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu ditelusuri hingga ke hulu. Sumber penyebab itu ada di mindset (pikiran), bangsa ini mulai dari pimpinan puncak negara hingga rakyat jelata. Pada hakekatnya pemilu adalah kegiatan wajib, rutin, tetapi dianggap sebagai pesta demokrasi. Setiap pesta, baik secara denotatif maupun konotatif adalah hajatan yang menelan biaya besar. Arti dan makna konsep pesta digabungkan dengan kesakralan konsep demokrasi, maka pengeluaran biaya seberapa pun besarnya pasti mendapatkan landasan justifikasi alias pembenaran dan legalitas dari para pihak.
Jika ingin menekan biaya pemilu, maka langkah pertama adalah mengubah mindset orang tentang pemilu dari pesta ke aktivitas rutin biasa. Konsekuensi logis dari perubahan ini adalah penyederhanaan prosedur, pengurangan durasi waktu kampanye, intensitas dan frekuensi kampanye, mengoptimalkan semua potensi teknologi multimedia, teknologi sistem informasi, sembari mengurangi intensitas dan frekuensi pertemuan di tempat terbuka sampai ke tingkat minimal. Akhir dari semua upaya tersebut pasti dapat mengurangi biaya pemilu.
Republik perlu mencontoh negara-negara Skandinavia yang menerapkan demokrasi dan menyelenggarakan pemilu. Masa kampanye berlangsung hanya beberapa hari, tanpa kehadiran baliho besar, poster besar, stiker, tanpa pembagian kaos, kalender, sembilan bahan pokok (sembako) termasuk uang tunai. Pada hari H pemilu, tidak ada penghentian aktivitas rutin, orang tetap pergi ke tempat kerja. Selain itu perlu dilakukan pemungutan suara secara e-vote. Dengan demikian tercapai tujuan pengurangan biaya pemilu yang berujung pada terciptanya kondisi biaya demokrasi dan biaya politik yang murah.
Penulis adalah Dosen FISIP USU, tinggal di Medan.