Hypatia
Oleh: Wirastuti
Dia cantik. Dia menarik. Dan lebih dari itu semua, dia juga sangat cerdas serta tajam. Sebuah paket komplit dan langka dari kualitas yang bisa diimpikan dalam diri seorang perempuan. Seorang manusia. Sayang sekali, kombinasi kecantikan fisik dan kecerdasan intelektual kadang kala bisa mengundang petaka. Terutama saat engkau lahir pada zaman yang salah.
Inilah kisahnya:Namanya Hypatia. Anak dari seorang profesor dan pustakawan terkenal: Theon. Lahir di kota kuno Alexandria pada abad ke-4 M.
Pada era itu Alexandria adalah salah satu mercusuar peradaban dunia klasik. Besarnya hanya kalah sedikit dari kota Roma—sebagai pusat Imperium Romawi Barat. Namun untuk urusan geliat gairah aktivitas kaum intelektualnya, Roma harus mengakui kekalahannya dari kota yang dibangun oleh mendiang Alexander the Great ini.
Setelah Roma mengalami kemunduran besar pasca konflik internal para politisi nya yang slebor dan pasang naik kristenisasi di sana, banyak kaum filosof dan ilmuwannya hijrah ke berbagai kota-kota lain yang lebih tenang dan ramah. Biasanya di seputar kawasan Mediterania dan Asia minor. Salah satu kota favorit para intelektual ini adalah Alexandria.
Kota ini unik. Sekalipun secara formal diperintah oleh seorang gubernur Romawi, namun secara kultural Alexandria tetap memilih bercorak Hellenis—Yunani. Tradisi keilmuan begitu kental dan hidup di sini. Anda tahu, bahkan di kota inilah terdapat sebuah perpustakaan kolosal terbesar dalam dunia kuno.
Perpustakaan ini sudah dirintis pada masa Alexander Yang Agung. Namun ia mencapai puncak kejayaannya saat ditangani oleh Dementrius Phalerius. Seorang pencinta buku paling bersemangat yang mendapat sokongan dana tak terbatas dari kocek kerajaan. Khususnya oleh Kaisar Philadelphus dari Dinasti Ptolemy pada abad ke-3 SM. Satu dinasti yang juga melahirkan salah satu ratu paling kontroversial dalam sejarah: Cleopatra.
Berbeda dari pakem umum pola asuh perempuan di zamannya, Hypatia dididik ayahnya untuk menjadi seorang sarjana. Berkat kemampuan otaknya yang lebih encer dari kebanyakan para lelaki di sana, Hypatia mendapat priviledge buat menimba ilmu langsung di Athena.
Di Yunani Hypatia belajar pada para filosof aliran Neoplatonis. Sebuah aliran filsafat yang bercirikan hybrid dari gagasan Plato dan mistisisme Timur.
Akan tetapi sesungguhnya minat utama Hypatia adalah pada astronomi dan matematika. Ia begitu terobsesi untuk memahami bagaimanakah relasi posisi bumi dalam konstelasi benda langit lainnya.
Apakah bumi menjadi pusat semesta? Ataukah bumi ternyata merupakan satelit bagi matahari? Dan seterusnya.
Setelah lulus dari akademia Yunani, Hypatia kembali ke Alexandria. Ia pun diangkat menjadi salah satu profesor yang mengajar di universitas di sana. Pada waktu itu kelas-kelas belajar masih satu lokasi dengan Perpustakaan Alexandria. Atau yang disebut caecarion.
Kelas-kelasnya amat ramai. Semua orang berebut untuk ikut kuliahnya. Muridnya semua lelaki. Hypatia adalah sedikit dari jenis dosen yang sanggup membawa passion dalam kuliahnya. Pengajarannya begitu hidup. Ia bukan hanya piawai membawakan teori-teori umum, namun juga menantang mahasiswanya untuk melakukan studi empiris.
Belajar di bawah bimbingan seorang dosen yang begitu cerdas, cantik, dan menawan, terus terang adalah sebuah perjuangan. Kharismanya bagaikan opium bagi kaum lelaki. Banyak muridnya yang jatuh cinta. Tidak bisa tidak! Konon, Hypatia harus menolak proposal romantis dari para pemuja tipikal flesh and blood lover ini.
Ia merasa tak punya waktu buat melayani perkara cinta selama ada begitu banyak urusan “langit” yang belum terpecahkan.
Ya, Hypatia begitu asyik menengadahkan wajahnya ke langit, hingga ia luput dari persoalan serius di bumi. Inilah salah satu kenaifannya.
Sejak kepergiannya selama bertahun-tahun saat studi ke akademia Athena, Alexandria bukanlah kota yang sama lagi. Kota ini mirip sebuah ketel, yang direbus secara kontinu, tanpa lubang ventelasi yang memadai. Ia tinggal menunggu waktu untuk meledak!
Prahara sosial politik multi dimensial di Roma dan Konstantinopel ternyata pelan-pelan juga merembet ke kota ini.
Dahulu Alexandria dikuasai oleh politisi Romawi yang toleran pada kegiatan intelektual dan aneka kepercayaan lokal. Seperti pada agama pagan dan Yudaisme. Belakangan saat statistik penganut Kristiani naik tajam di wilayah Romawi, hal ini menjadi masalah baru yang mengguncang stabilitas negara.
Saat ini secara de facto, kota dikuasai oleh penganut Kristian. Bangsawan Roma yang umumnya pagan, dan umat Jahudi kali ini menjadi minoritas.
Pak gubernur menatap ngeri daftar komposisi demografik terbaru ini. Ia sedang menimbang- nimbang kelanjutan karir politiknya sendiri.
Bila ia beroposisi dengan kelas baru yang sedang naik daun ini, maka itu sama saja dengan bunuh diri. Satu-satunya jalan ialah ia mesti berkolaborasi. Menjadi bagian dari oligarki yang paling kuat. Sekalipun secara pribadi dia membenci gagasan ini.Atas nama pragmatisme pak gubernur bahkan mempertimbangkan untuk masuk Kristen.
Sialnya, agama Kristen yang baru saja tumbuh ternyata ikut melahirkan para pengikutnya yang militan serta fanatik. Sebagian besar dari mereka berasal dari kalangan rakyat jelata dan kelas bawah dalam strata sosial. Mereka ini dulu adalah golongan yang sering kali tertindas.
Dendam sejarah berkelindan dengan kredo ajaran baru yang saklek luar biasa. Para uskup Kristen di Alexandria tidak bisa toleran dengan praktek ritual Jahudi maupun pagan. Semua itu dianggap bid’ah dalam pandangan teologisnya.
Bila kaum Jahudi dimusuhi karena dianggap bersalah dulu ikut membunuh Yesus, maka orang-orang pagan didakwa kafir. Bentrok fisik sering terjadi. Gubernur yang berasal dari kalangan militer itu tidak berdaya memulihkan ketertiban umum. Eskalasi konflik sosial makin meningkat. Kota Alexandria guncang!Puncaknya revolusi sosial ini pun memakan korban. Entah mengapa, sejak awal para pemuka agama Kristen tidak menyukai para filosof ataupun saintis.
Mereka memandang ada akar kejahatan di sana. Sejak awal pula pihak gereja merasa ada persaingan antara kredo mereka dengan logika pengetahuan. Antara iman dan skeptisisme—kritik.
Di Alexandria, para pemuka agama yang pemarah ini menemukan korbannya yang paling mudah. Hypatia. Dia seorang perempuan. Filosof pula. Juga bagian dari kalangan kelas bangsawan yang sebagian besar memilih agama pagan.
Sungguh target yang sempurna. Sebagai contoh peringatan buat yang lain. Agar menyerah pada doktrin Kristiani.
Mereka merancang sebuah konspirasi dan pembantaian. Hypatia dituduh sebagai seorang penyihir. Dia juga divonis sesat. Pada suatu sore yang naas, saat Hypatia sedang menaiki kereta kudanya menuju perpustakaan Alexandria, sekelompok relawan Kristen mencegatnya.
Dengan pengecut mereka menyeret perempuan yang tidak bersenjata ini sepanjang jalan menuju perpustakaan. Mereka mencungkil matanya. Mengoyak kulit dari daging dan tulang tubuhnya. Mereka memutilasi organ-organ dalam tubuhnya. Dan kemudian membakarnya.
Setelah itu, sebagai ritual penutup orang-orang ini pun membakar isi perpustakaan paling besar dalam sejarah manusia itu.Maka lenyaplah sumber khasanah ilmu pengetahuan peradaban klasik selama 1.000 tahun. Berkat ulah para laskar militan yang majnun ini.
Yang tak terpikirkan oleh orang-orang dungu ini adalah bahwa: mereka bisa saja membakar manuskrip-manuskrip ilmu. Atau menghabisi nyawa orang lain. Masalahnya, mereka tak kan pernah bisa membunuh ide.
Penulis adalah jurnalis dan pendiri House of Alchemy (peracik produk-produk natural skincare).