Isu Kebudayaan dan Target 100 Tahun Republik
Masyarakat kita harus mengubah perspektif kebudayaannya menjadi agenda daya cipta melalui Cognitive Revolution serta meninggalkan mitos-mitos kebudayaan.
Erond Damanik
Jika kita menghitung kisaran 100 tahun Republik Indonesia maka masa itu akan jatuh pada tahun 2045. Bukankah itu merupakan program yang digadang-gadang oleh Pemerintah Indonesia era Jokowi? Membicarakan isu besar tentang kebudayaan yang sangat luas dari berbagai perspektif tentunya memerlukan daya tahan secara fisik dan intelektual. Namun dalam 46 judul tulisan yang menawarkan berbagai alternatif dan mengulik betapa dinamisnya kebudayaan manusia itu dapat kita telisik melalui buku yang ditulis oleh Yance, seorang dosen senior dari kampus FISIP USU. Yance memang rajin sekali menulis, tentu sangat jarang dijumpai ada dosen yang sebegitu intensnya menulis tentang apa saja. Di antara ratusan judul tulisan yang dimuat di blog pribadinya, beberapa judul dibuat dalam sebuah buku. Buku tersebut kemudian dikupas dalam agenda rutin Diskusi Kebudayaan yang menjadi program Deli Art Community (DAC) pada 25 Mei 2022 di Aula FISIP USU, Jalan Tengku Sofyan, Medan.
Adapun para pembahas yang mengapresiasi buku Isu Kebudayaan dan Target 100 Tahun Republik di antaranya Isnaen Fitri, Dosen Fakultas Teknik USU; AD. Handoko, aktivis dan kini menjadi pengacara yang cukup ternama, Tengku Ilham Saladin, Dosen FISIP USU dan Erond Damanik, Dosen dari Unimed. Hatta Ridho, mewakili Dekan FISIP USU dalam kesempatan itu sebelum diskusi dimulai mengucapkan selamat kepada penulis dan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama Deli Art Community atas upayanya melakukan pelbagai cara untuk membangun semangat literasi di Medan ataupun Sumatera Utara.
Sebagaimana banyak defenisi tentang kebudayaan, sebutlah sebuah pengertiannya sebagai proses daya cipta melalui ide, gagasan, kebendaan dan perilaku yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupannya secara terus menerus. Ini berarti dapat dimengerti bahwa kebudayaan tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai yang dianggap adiluhung atau sesuatu yang mulia, namun ia juga bisa menjelma menjadi pelbagai hal yang kontradiktif dari nilai keluhuran.
Erond Damanik dalam pemaparannya mengambil contoh negara Jepang pasca luluh lantak dari PD II atau China sejak tahun 1978 ataupun Korea Utara. Meminjam konsep Van Peursen katanya, revolusi kebudayaan menggambarkan cognitive revolution yangg berkembang dari mitos ke logos (technos) dan berakhir di fungsi. Sesungguhnya, cognitive revolution itu adalah The Sapiens Black Box yang memuat perasaan, jiwa dan kesadaran. Maksudnya, segera tinggalkan perasaan yang menghambat, memicu intoleran, diskriminasi, beralih ke kolaborasi, ketekunan dan keseriusan, untuk melahirkan jiwa-jiwa yang tenang, bahagia, yang berperan dalam menciptakan kesadaran, entah kesederajatan, lingkungan, kesenjangan dan lain-lain.
“Pada tahapan inilah, saya harus mengapresiasi buku sahabat saya, Yance tentang Isu Kebudayaan dan Target 100 Tahun Republik. Buku itu, sesungguhnya mencerminkan kegelisahan penulisnya atas mimpi 2045 dibanding realitas kontemporer masa kini. Sekaligus, buku itu mencerminkan kritik kebudayaan di mana kita banyak terkungkung oleh mitos-mitos yang sangat menghambat,” dengan gaya Erond yang khas dan pandai memanaskan suasana diskusi. (dn)