Kesenian Kuda Lumping (Jarkep) dan Tradisi Marpangir itu Musrik?
Sebuah pertunjukan kesenian tradisional kuda kepang atau kuda lumping pada tanggal 2 April 2021 di kawasan Sunggal, Medan mendapat sambutan kurang baik disebabkan kehadiran beberapa orang pengurus sebuah organisasi berlabel agama. Salah satu pengurus kebetulan sebagai Kepala Lingkungan (Kepling) meludahi seorang wanita yang menyatakan keberatannya kalau pertunjukan itu disebut musrik dan bertentangan dengan ajaran agama. Peristiwa itu menyulut kerusuhan karena perlakuan kasar oknum kelompok ormas tersebut. Kasus ini dilaporkan ke kepolisian terkait penganiayaan dan penghinaan.
Di tempat yang berbeda masih di provinsi Sumatera Utara, seorang pejabat dalam sebuah acara memberikan kata sambutan. Dalam sambutannya yang kemudian menjadi isi teks berita di media massa menyatakan kalau tradisi marpangir adalah perbuatan sirik dan dilarang agama.
Belakangan ini acap kita dengar atau baca adanya ujaran-ujaran yang sejatinya mencerminkan kedangkalan berpikir menyikapi pelbagai peristiwa kebudayaan dengan melabelinya sebagai sirik atau musrik yang bertentangan dengan keyakinan agama, dilakukan oleh pejabat, memiliki kedudukan terhormat ataupun kelompok masyarakat yang berafiliasi dengan organisasi keagamaaan. Ujaran itu kadang disertai sikap dan tindakan pemaksaan sehingga menciptakan suasana bermasyarakat yang tidak harmonis.
Padahal kita tahu tradisi marpangir atau mandi dengan bahan-bahan rempah yang bisa menciptakan efek relaksasi ataupun mandi dengan campuran aneka bunga adalah bagian dari tradisi masyarakat di Nusantara ini. Ujaran ketidaksukaan karena perspektif atau bahkan keyakinan yang berbeda namun disampaikan dengan cara tidak baik akan menciptakan permasalahan baru.
Sejak ratusan tahun lalu jaran kepang atau kuda lumping telah menjadi media hiburan rakyat di Nusantara. Dalam beberapa referensi dikatakan tarian jarkep, begitu orang Medan sering menamainya–merupakan bagian dari pertunjukan reog adalah tidak hanya pertunjukan kesenian yang difungsikan sebagai hiburan semata namun sebagai jalan spiritualitas, bahkan sebagai media kritik sosial pada raja yang lupa akan tugas sucinya. Pertunjukan itu adalah hasil kreativitas tingkat tinggi yang ditempuh para leluhur Nusantara ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu pada saat itu sehingga mampu melahirkan karya seni pertunjukan yang abadi dan masih bisa kita nikmati hingga saat ini.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang asal usulnya dan segala hal yang terkait dengan kesenian kuda lumping serta tradisi marpangir beberapa narasumber memberikan pandangannya di program Diskusi Kebudayaan secara hybrid yang dilaksanakan di aula Balai Arkeologi, Jalan Bunga Seroja Gang Arkeologi, Medan Tuntungan, Sumut pada 30 April 2021 di antaranya Ranto Sibarani (pengacara), Agung Suharyanto (seniman tari), Togi M. Sirait (penghayat Parmalim), Dr. Panji Suroso (akademisi Unimed), Ustad Martono (Banser NU), Budi Susanto (DPD Pujakesuma Kota Medan) dan sebagai moderator Juhendri Chaniago. Peserta sangat antusias menghadiri secara luring di aula Balar dan daring melalui media zoom. (dn)