Lanskap Kemiskinan Sebuah Kota Catatan Menonton Pertunjukan Teater (Medan Teater)
Oleh: Hafiztaadi, Ketua Dewan Kesenian Medan
Teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual dalam peradaban kehidupan manusia. Diusung ke atas panggung yang dibumbui imajinasi, dramatik dari peristiwa aslinya. Dalam visualnya logika yang ada, tentu sudah ‘dibumbui’ oleh logika yang dibutuhkan, baik artistik dan telah juga ‘dibesarkan’ perlakuannya.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut menjadi perluasan untuk mendefinisi teater yang diletakkan di atas frame panggung prosesium atau model panggung lainnya. Menggantikan alam di mana manusia menjejakkan kaki dan tubuhnya untuk bergerak. Cahaya matahari diwakili oleh susunan bola lampu dan sarangnya yang ditata oleh penata cahaya.
Teknologi itu memberikan gambaran yang mampu menghantar imajinasi bagi para penonton. Menggiring kita kepada ruang dan waktu. Sebuah persimpangan transisi untuk menegaskan simbol peredaran waktu. Bahkan bisa merepresentasikan ruang-ruang lainnya, membentuk makro kosmos dan mikro kosmos secara imajinatif.
“Drama Gemdal”, yang digagas dan dipresentasikan Medan Teater pada 9 Maret 2024 di Sanggar Tari Taman Budaya Medan, Jalan Perintis Kemerdekaan pukul 20.00 WIB disutradarai Ahmad Munawar Lubis adalah sebuah representasi pemetaan sosial masyarakat kota yang “compang-camping”. Hidup menggelandang di antara kemiskinan tumpukan sampah dan karton-karton bekas. Bila dilihat secara fisik, rakyat miskin kota itu sebuah kemirisan yang menghiasi kehidupan kota. Masyarakat yang dianggap tidak memiliki peruntungan itu cuma memiliki mimpi, cuma sekedar menikmati janji-janji secara politis dalam ruang imaji yang tumpul, kemudian buyar ketika kebutuhan-kebutuhan vital dalam hidupnya mendesak. Keindahan itu melintas kembali sebagai pemujaan yang kosong, sunyi, terjerembab di ruang fatamorgana.
Ide-ide yang digagas Medan Teater, boleh dibilang ditangkap dan diuraikan sangat lugas dan cerdas oleh para aktornya, tanpa beban dan harus diberat-beratkan. Kolase-kolase dari beragam peristiwa compang-camping peristiwa hidup manusia menjadi sebuah cermin yang retak. Di antara super teknologi yang berjejal dan bersliweran dalam kanal budaya yang bertransformasi sangat hebat serta bergerak, melesat seperti deru mesin jet.
Kehidupan absurd di dunia ini, dunia yang penuh dengan tanda tanya. Hidup yang sangat kontradiktif kadang tanpa dapat dimengerti. Keabsurdan itu tanpa ada yang bisa “mencetak” blue print hasil atas tujuan hidup yang dilakoni. Manusia adalah ciptaan dari sekian banyak mahkluk hidup yang mempertanyakan tentang hidup dan keberadaannya. Selalu memberontak melawan keadaan tanpa memandang strata. Dan pemberontakan itu juga sangat berhubungan dengan perasaan absurd.
Pemetaan kemiskinan yang dimainkan oleh Medan Teater, sebuah sindiran dari kolase-kolase yang ada dan dituang keatas panggung. Di fase adegan tertentu yang menyinggung fase keinginan dan mimpi-mimpi manusia. Simbol yang compang-camping itu tiba-tiba merubah wujudnya. Mereproduksi perilaku kaum borjuisi. Berperilaku ‘mentereng’. Mengadopsi ruang-ruang percakapan intelektual. Hal ini juga salah satu fenomena yang terjadi dalam Masyarakat.
Narsis dalam sebuah kemelaratan fisik maupun batinnya. Ziarah pemikiran dari ide yang sangat sederhana itu ikut menawarkan rasa geli di antara ungkapan dialog satire dan perilaku para aktor yang tak harus divulgarkan juga. Dialog-dialog yang tanpa beban itu mampu merefleksikan kesegaran yang terbilang cerdas. Tawa penonton berderai, penonton tergelitik dan memiliki imajinasinya secara mutlak. Bergerak dengan sendiri-sendiri.
Dialog satire yang sempat digulirkan dan kukutip, disuguhkan dalam drama Gemdal. Merefleksikan berbagai profesi aktifitas manusia yang dipertanyakan. Meluncur lurus dengan imaji dan muatan kepala masing-masing aktor.
Aktor A : Jika dia berprofesi menjadi tukang tempel ban?
Aktor B : Berdoa dan berharap akan banyak ban-ban kendaraan yang bocor.
Aktor A : Jika seorang dokter?
Aktor B : Mudah-mudahan banyak yang sakit dan akan banyak yang berobat.
Bukankah harapan-harapan itu sangat konyol? Harapan absurd dari pikiran-pikiran manusia dengan segudang rekayasanya. Dan hal juga sangat satire secara nyata menyodok miris. Membuat penonton drama Gemdal yang didalangi Ahmad Munawar Lubis itu ikut tersentak.
Aktor A : Jika ia seorang seniman?
Aktor B : Ya, jangan berharap apa-apa.
Secara politis ungkapan itu ingin mempertanyakan benang kusut yang dialami para seniman Indonesia. Notabene nasib seniman kota Medan ini dengan tamparan kalimat lugas tersebut. Seniman di kota ini tidak boleh berharap apa-apa, ternyata. Peradaban kesenian kota ini masih dianggap hanya sebelah mata. Dan pemiliknya dianggap rakyat nomor tiga di negara ini. Atau mungkin kesenian akan segera “dihancurkan” dan dianggap musuh? Refleksi itu begitu tak menggembirakan keberadaannya.
Teater memiliki essensi menggambarkan sebuah fenomena hidup. Dieksplorasi, diimbuhi oleh unsur-unsur lainnya sebagi penguat sebuah pertunjukan. Perhelatan yang digagas Medan Teater. Sebuah komunal teater yang hampir seluruh geliatnya dihuni oleh anak-anak muda yang memiliki potensi ini, terus berproses dengan “kemiskinan” yang dimiliki oleh kota ini sendiri. Dan potensi itu sendiri juga tak pernah disaksikan oleh pengelola kebudayaan yang ada.
Kalau potensi tersebut kita katakan aset yang nanti akan mengacu kepada kemapanan peradaban dan kemasyuran kebudayaan sebuah kota. Hal itu juga potensi kepedulian atas perhatian sebuah keberlangsungan pemajuan kebudayaan. Bila essensi yang termuat didalamnya adalah sebuah bentuk perlindungan. Itu jarang terjadi dan terlihat, justru terbilang tak memiliki keramahan. Maka bentuk perlindungan terhadap aset potensi yang ada, jauh panggang dari api. (Pertanyan-pertanyaan itulah yang terus menggelitiki pikiran).
Epilog
Latihan keaktoran yang dilakukan oleh Medan Teater, merupakan teater laboratorium, teater riset yang juga telah dilakukan oleh Grotowski sejak akhir 1960-an. Pelatihan teater pada era Grotowski telah diamati secara metodologis, tersistem dan teknis. Keberadaan teori-teori teater yang merujuk metode transformasi dan sistem via negative. Tidak pernah lagi akan berfungsi tanpa dibuktikan melalui praktik. Metode transformasi yang dimiliki untuk memaknai sebuah tanda atau simbol-simbol yang akan dikedepankan, para aktor, tata cahaya. Flat dekorasi yang menurut penulis memberikan penguatan terhadap masalah, wilayah yang diangkut Medan Teater dikerjkan oleh Kuntara DM ikut memberikan penguatan terhadap pementasa Gendam.
Racikan gundingan kertas sebagai simbol atau ikon kota yang sangat dekat dengan peristiwa cerita yang dibangun. Dalam konteks teater laboratorium ini, kemampuan semua lini mampu beradaptasi dengan anasir-anasir kebudayaan yang berada di sekitarnya. Kecompang-campingan yang menjadi fenomena yang ada. Telah menjadi kekumuhan dari pemikiran yang
sebenarnya miskin.
Ah Kimaklah!
Akulah rumah yang pergi menjemput ibu
Berpagarkan cemas dari bulan purnama dalam rahimmu
Ibu, jangan menangis
Ini aku pulang membawa racun
Agar susumu serasa manis
Dan membunuh bintang-bintang
Papa, siapakah aku ini?
Mengapa ada kucing dalam mulutku
Mengeong saban hari dan terus bertanya
Bagaimana cuaca di hari Senin?
Albert Camus mati dalam lipatan
Afrizal Malna pulang pada hujan
Sutarji Kalsum Bahri membuat puisi di mushola kosong
Sementara kebudayaan adalah uang receh di kantong para seniman
Ibu beri aku waktu untuk menanak air mata
Saban hari kereta lewat meninggalkan kenangan
Tentang roti bakar yang selalu dibawa seekor srigala buas
Bisakah kau matikan rokokmu sejenak!
Barangkali Tuhan sesak nafas dalam diamnya
Terlalu sering kau meminta hujan turun di kepalamu
Seperti buah mangga yang ranum dan wangi tetapi milik Pak Walikota dan kerabatnya
Kami kosongkan ruang-ruang dalam dada kami, agar ibu bisa menanak kehidupan
Apalah artinya sungai-sungai jika ikan-ikan mati tertimbun sampah
Apalah artinya taman-taman jika anak-anak mati jiwanya dan selalu memaki matahari
dan rembulan
Lihat Pak Wali, lihat!
Di sana airmata para seniman tumpah ruah
Ketika semuanya tentang kesenian mulai tergadai satu demi satu
Di sana, ada semangat NA Hadian, ada semangat Burhan Piliang,
ada semangat Ben Pasaribu, ada semangat Aci Acuh, YS Rat, Putra dan Bibik pecal
Mengapa semua pintu dikunci ibu?
Kami ingin sholat, ibu
Kami ingin mengadu pada Tuhan, ibu
Kami ini harus bagaimana ibu?
Apakah kami ini bukan anak kandungmu ibu?
Apakah kami ini tak pantas hidup seperti mereka ibu?
Lantas bagaimana?
Ah kimak, lah!
(Meminjam dan mengutip puisi karya Ayub Hamzah Fahreza). Teater memberikan peluang yang sangat lebar terhadap inovasi-inovasi. Dan menjadi penentu sebuah kelompok Teater harus jatuh bangun untuk bertahan hidup. Harapan lainnya menjadi sangat penting juga, yakni sebuah perhatian, bukan dirampok atau di DOR kepalanya sebelum teater itu melakukan ‘peperangan’ dan berhadapan dengan penonton-penontonnya yang cerdas. Celakanya bila kesenian hanya dianggap sebagai alat hibur belaka, maka gagallah cita-cita dan nilai kebudayaan sebuah kota, bila tujuan terdepannya sebuah peradaban.