Lebih Dekat Mengenal Kerajaan Bukit Sahilan Kampar Kiri
Oleh: Yoseph Tien
Sebuah Catatan Perjalanan
Setelah dua jam perjalanan dari Pekanbaru, menyusuri perkebunan kelapa sawit, pagi itu kami tiba di Rumah Sompo Kenagarian Gunung Sahilan Kamparkiri. Setelah bersalaman dengan para ninik mamak, sedikit pengantar dari penghubung kami, sembari menikmati kopi panas dan penganan kecil yang dihidangkan, kami menggelar wawancara secara mendalam di Rumah Sompu Datuk Besar Melayu Darat Sejati, yang berdiri berhadapan dengan istana raja di Desa Koto Dalam Gunung Sahilan. Suasananya santai, meski model penggalian informasi barangkali lebih mendekati focus group discussion. Narasumber kami adalah para pemangku adat Kenagarian Gunung Sahilan atau para ninik mamak yang boleh dikata telah hadir lengkap di hari itu.
Datuk Tiga Selo (yang menerima kami dengan duduk di atas tilam), yaitu Datuk Godang (Utama Warman) dari suku Piliang, Datuk Besar (H. Marwas) dari suku Melayu Bukit dan Perwakilan Tetua Datuk Senaro dari suku Domo. Datuk Senaro tidak hadir karena sedang sakit. Hadir juga Datuk Selapan Suku yaitu Datuk Marajo (Khairul) dari suku Maniling, Datuk Paduko (Siddiq) dari suku Melayu Bukit, Datuk Tumenggung (Zukri) dari suku Chaniago, Datuk Betuah (Watri) dari suku Patopang, Datuk Paduko Sindo (Dasril) dari suku Piliang dan Datuk Majo Bobar (Benhar Banin) dari suku Melayu Palu Koto beserta anak kemenakan.
Datuk Besar kemudian berkisah dan dikuatkan oleh Datuk Godang, bahwa hak ulayat Kenagarian Gunung Sahilan seluas 134.000 ha, terbentang mulai dari Kuansing, Pelalawan, Kampar Kanan sampai Tanjung Pauh. Pemangku Adat Kenagarian Gunung Sahilan adalah Ninik Mamak yang terdiri dari Datuk Tiga Selo yakni Datuk Godang berasal dari suku Piliang, Datuk Besar berasal dari suku Melayu Bukit, Datuk Senaro berasal dari suku Domo dan Datuk Selapan Suku (Datuk Marajo berasal dari suku Maniling, Datuk Paduko berasal dari suku Melayu Bukit, Datuk Tumenggung berasal dari suku Chaniago, Datuk Betuah berasal dari Suku Patopang, Datuk Paduko Sindo berasal dari suku Piliang, Datuk Majo Bobar berasal dari suku Melayu Palu Koto.
Di Kenagarian Gunung Sahilan, Datuk Tiga Selo mempunyai tugas yakni Datuk Godang sebagai penyambung lidah dari Ninik Mamak ke raja dan sebaliknya. Datuk Besar sebagai pengurus dan pemangku seluruh tanah ulayat, Datuk Senaro sebagai pemangku adat yang bertugas mengatur seluruh urusan adat kenagarian. Sejak dahulu kala, menurut adat istiadat yang diwariskan leluhur, perihal pengaturan, pengelolaan, pemilikan dan pengalihan tanah ulayat di wilayah Kenagarian Gunung Sahilan merupakan kewenangan Datuk Besar tanpa keterlibatan raja, dengan tetap menjaga dan mengutamakan kepentingan seluruh anak kemenakan.
Pada tahun 1992, Ninik Mamak Kenagarian Gunung Sahilan memberikan hibah kepada pemerintah sehamparan tanah ulayat kenagarian seluas 12.000 ha untuk dijadikan sebagai areal transmigrasi. Pemberian hibah tanah ulayat sebagaimana lazimnya adat yang berjalan sejak dahulu kala, dilakukan oleh Datuk Besar setelah bermusyawarah dengan Ninik Mamak.
Berdasarkan informasi Datuk Godang dan Datuk Besar yang diamini Ninik Mamak yang hadir, bahwa yang berwenang menghibahkan tanah ulayat kenagarian adalah Datuk Besar, setelah bermusyawarah dengan semua Ninik Mamak dan tidak memerlukan persetujuan Pewaris Raja.
Sejak dahulu kala peran raja hanya sebagai pemimpin yang memberi masukan dan nasihat, tidak sebagai pengambil keputusan apapun termasuk dalam hal pengelolaan dan pengurusan tanah ulayat kenagarian.
Menurut Datuk Besar, kewenangan raja sudah diserahkan oleh raja waktu itu (Yang Mulia Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam) kepada Paduka Tuan Besar Asisten Residen di Bengkalis, berdasarkan kesepakatan Raja dan Ninik Mamak, dan sejak itu semua urusan adat kenagarian termasuk perihal pengurusan dan pengelolaan hak ulayat dipegang oleh Ninik Mamak (Datuk Tiga Selo dan para Datuk Selapan Suku), dengan penanggungjawabnya Datuk Besar. Sejak zaman dahulu, menurut adat Kenagarian Gunung Sahilan, tidak ada terminologi “panglima”. Raja beserta ulubalang juga tidak memiliki kewenangan dalam urusan pengelolaan tanah ulayat.
Perbincangan kami mengalir semakin jauh. Kala mentari menyapa pucuk rumah, masakan asam padeh ikan baung dari sungai Kampar tersaji menyemburkan aroma yang harum, sebagai lauk makan siang. Aih, nikmatnya tak terkatakan.
Usai makan siang, Datuk Besar lanjut berkisah bahwa pada zaman dahulu saat para leluhur sudah bersepakat merumuskan berbagai hukum adat dan aturan hidup bersama di Gunung Sahilan dengan sebuah ritual khusus, aturan adat hidup bersama tersebut dibenamkan ke sungai (hulu sungai Kampar), dengan sebuah “Sumpah Satih” yang kemudian menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat adat Gunung Sahilan hingga saat ini yang diwariskan turun temurun lewat tradisi lisan mereka.
Saat hari beranjak senja, Datuk Besar mengeluarkan sebuah buku tua (fotocopy). Buku berjudul Sejarah Adat Istiadat Kampar Kiri pada halaman dalam tertulis pengarang, Tengku Haji Ibrahim dan Penyusun A.M. Muahamad Isa. Tidak ada penerbit. Kemungkinan besar ini semacam manuskrip yang disalin kembali dan terlihat diketik dengan mesin tik biasa bukan hasil dari mesin komputer.
Menurut buku ini (yang pada halaman belakangnya tertulis tanggal 4 Agustus 1939 M – 17 Jumadilakhir 1357 H), pada Pasal 1 dituliskan bahwa rantau jajahan Kamparkiri mudiknya dari Muara Langgai dan ke hilirnya sampai ke Pangkalan yang Dua, sebagian besar penduduknya turunan dari alam Minangkabau, demikian juga raja-rajanya keturunan Daulat Pagaruyung, sedangkan adat istiadatnya mengambil contoh dari Minangkabau.
Disebutkan juga bahwa raja bersemayam di Koto Dalam Gunung Sahilan. Raja Gunung Sahilan disebutkan juga memiliki lima pembesar sebagaimana di Pagaruyung yaitu:
- Datuk Besar Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunung Sahilan;
- Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu;
- Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit;
- Datuk Gadang Khalifah Batu Sanggan berkedudukan di Batu Sanggan;
- Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai.
Pada Pasal 2 dikatakan bahwa lima Khalifah tersebut memiliki jajahan sendiri-sendiri. Baik juga kita disimak satu pepatah adat Gunung Sahilan berikut, yang menggambarkan kedudukan raja seperti telah kami uraikan di atas.
Mula duduk kan berdiri
Beringin ditengah padang
Mula adat kan berdiri
Turunan Pariangan Padang Panjang
Anak si Puti Jahilan
Menghisap bunga linsabau
Beraja ke Gunung Sahilan
Bertuan ke Gunung Hijau
Selanjutnya dikatakan bahwa Datuk Besar Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunung Sahilan. Negeri yang takluk di bawah pemerintahannya di masa dulu ada sembilan negeri, tetapi di masa sekarang telah menjadi 14 negeri. Penghulu di Gunung Sahilan yang mengurusi adat ada beberapa orang di antaranya Datuk Gadang yang di masa dahulunya bergelar Datuk Paduko Tuan Pucuk Negeri Gunung Sahilan. Datuk Godang ini memakai hulubalang yang bergelar Raja Meka dan seorang saudagar yang bergelar Nahkoda Raja.
Di bawah Datuk Gadang ada delapan penghulu yang disebut penghulu suku yaitu:
- Datuk Sinaro, penghulu suku dalam suku Domo, pucuk kampungnya bergelar Datuk Perdano, hulubalangnya bergelar Seribu Garang.
- Datuk Paduko, penghulu suku dalam suku Melayu di bukit, pucuk kampungnya bergelar Intan Pucuk, hulubalangnya bergelar Bandaro.
- Datuk Maharajo, penghulu suku dalam suku Mandahiling, pucuk kampungnya bergelar Datuk Bagindo Rantau, hulubalangnya bergelar Jalo nan Tenggang.
- Datuk Tumenggung, penghulu suku dalam suku Chaniago, pucuk kampungnya bergelar Datuk Rajo Mangkuto, hulubalangnya bergelar Bon Kampar.
Keempat suku ini menurut adat disebut “sudut parit nan empat”.
- Datuk Marajo Bobar, penghulu suku dalam suku Melayu Kepala Koto, pucuk kampungnya bergelar Datuk Paduko Marajo, hulubalangnya bergelar Jalo Garang.
- Datuk Betuah, penghulu suku dalam suku Petopang, pucuk kampungnya bergelar Datuk Penghulu Kayo, hulubalangnya bergelar Bagindo Ali.
- Datuk Paduko Sindo, penghulu suku dalam suku Piliang, pucuk kampungnya bergelar Datuk Ulak Simano, hulubalangnya bergelar Tenggang Marajo.
- Datuk Marajo Dondo, penghulu suku dalam suku Piliang, pucuk kampungnya bergelar Paduko Marajo. Suku kedelapan ini, tidak berdiri lagi sejak lebih dari 60 tahun karena anak kemenakannya tidak ada lagi.
Saat ini hanya ada tujuh suku saja yang masih ada di Gunung Sahilan. Inilah yang menerima dan menyambut kami hari itu.
Sumpah Satih
Menurut riwayat tatkala raja dan khalifah serta penghulu dan para orangtua cerdik pandai selesai mengatur adat di Kamparkiri, maka diikatlah dengan Sumpah Satih supaya jangan terjadi aniaya antara satu dengan lainnya. Bunyi sumpah satih adalah itu ialah sebagai berikut:
“Sumpah satih di pulau Muaro Bio, batu berkarang di Muara Siangi, dicempungkan ke Lubuk Alai, tak boleh diangkat diungkit lagi, “buat” tinggal di Datuk Besar, “amanat” tinggal di Datuk Gadang, genggam pacik (erat) dek keempat suku, suluh banding dek khalifah nan berempat, pakaian datuk selapan (delapan), di Gunung Sahilan. Undang bersumpah janji cupak bepertuan sumpah manau purbakala, kalau raja mengubah dimakan biso qowi, kalau khalifah mengubah dimakan sumpah manau, kalau penghulu mengubah dimakan perbuatan, kalau orang banyak mengubah dimakan kutuk Kalamullah seribu siang seribu malam”.
Sumpah Satih ini sejalan dengan satu pepatah Kamparkiri, “Rantau berturut dengan undang, negeri betunggui (dihuni) jo (dengan) pusako, kampung dilambuk jo lembago, nan bebari, nan berturih basalaman, nan basosok bajerami, nan betturun benaikkan”. Artinya “rantau berturut dengan undang” ialah seperintah raja, lubuk seperintah penghulu, negeri seperintah orang besar, kampung seperintah tuan, rumah seperintah tengganai.
Hukum Adat Gunung Sahilan
Dari Sumpah Satih di atas, lahirlah kemudian seperangkat hukum adat di Gunung Sahilan, yang terdiri dari emopat larangan dan empat undang-undang.
Empat larangan itu adalah: larangan dibahagian undang; larangan di bahagian adat; larangan di bahagian syara’; larangan di bahagian cupak. Adapun undang-undang terbagi empat yakni Undang-undang negeri; Undang-undang orang dalam negeri; Undang-undang luhak dan Undang-undang nan dua belas.
Sementara untuk larangan di bagian adat ada enam macam yakni salah kata; salah piil; salah tarik; salah kelakuan; salah makan dan salah riba. Lalu yang dilarang pada syara’ ada enam macam pula yaitu: nikah tidak berwali; melangkahi dalam adat; mengerami thalak tiga; mengubah nan biasa; membuat nan belum-belum; memakan segala yang haram. Sedangkan yang dilarang di bagian cupak adalah: keras bak batu; tinggi bak langit; kusut tak mau selesai; keruh tak mau jernih; berbuat tak mau habis; berkata tak mau sudah; adat tak mau mengisi dan lembaga yak mau menuang.
Kira-kira demikianlah serangkaian hukum adat, undang-undang dan larangan adat di Gunung Sahilan, yang kemudian melahirkan seribu tanya. Tampaknya perjalanan menyusuri dan menemukan makna yang terkandung di balik undang-undang dan larangan itu semakin menarik untuk dipelajari.
Hukum adat Kenagarian Gunung Sahilan yang dibenamkan di lubuk Sungai Kampar pada masa lalu, kini masih hidup, dijalani dan dihidupi oleh Ninik Mamak di Gunung Sahilan, dan mengikat semua anak kemanakan mereka termasuk para pendatang dari luar. Pada akhir perbincangan hari itu, terungkap kisah undercover, ketika segelintir pewaris mencoba bermain api di tengah tawaran beraroma feodalistik. Serangkai kisah yang kemudian membuat saya mengerti atsmosfer persoalan yang sedang kami kaji saat menjalankan satu amanat negara, kala romantisme masa lalu mulai dinarasikan seperti “narasi batu alien”. Dan saya tersenyum merenungkan itu sembari menikmati minuman sanger double espresso.
Penulis adalah ASN di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatra, UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait konflik tenurial dan masyarakat hukum adat.