Medan, Antara Van Parijs dan Parijs Van Sumatra
Oleh: Jaya Arjuna
Médan (48°57′15″N, 1°59′49″E, luas 12.85 km2 dan kepadatan 470 jiwa/Km2), sebuah daerah di bagian Yvelines, wilayah Perancis Île-de-France. Medan terletak di pinggiran barat laut Paris, sekitar 30 km dari Menara Eiffel. Penduduk Médan disebut Médanais. Médan terletak di lembah Seine dengan penduduk sekitar 1.346 pada tahun 2019. Medan terdiri atas 66% ruang hijau. Sejak tahun 1991, Sungai Seine sudah menjadi situs warisan dunia. Pelancong yang pernah berkunjung ke sungai Seine memastikan tidak ada satu pun kota di Eropa yang dapat mengaitkan keberadaan kotanya dengan sungai sebaik Paris dengan sungai Seine-nya. Bertamasya dengan perahu di sungai Seine adalah bahagian terindah dari perjalanan ke Paris. Perjalanan sejarah juga mencatat bahwa tanpa sungai Seine, Paris tidak akan pernah ada.
Sungai Seine membagi Paris menjadi menjadi dua bagian yaitu tepi kanan sungai berada di Paris Utara, tepi kiri sungai merupakan wilayah Paris Selatan. Sisi kanan merupakan kawasan industri kecil, toko-toko modis, gedung perkantoran dan juga banyak obyek wisata ternama. Sisi kiri sungai merupakan habitat para seniman, cendekiawan, sastrawan dan pelukis seperti Pierre de Ronsard, Pléiade, Paul Cézanne, Maurice Maeterlinck, L’Araignée de verre, Édouard Manet, Camille Pissarro, Alphonse Daudet, Guy de Maupassant, dan J.K. Huysman. Pada sisi kanan ini terdapat kawasan Latin Quarter yang sangat terkenal sebagai pusat pendidikan sejak abad ke-12. Sepanjang sungai Seine dapat ditemukan hampir 133 objek wisata dan hiburan termasuk Museum Emile Zola di Medan, Notre Dame Cathedral, Menara Eiffel, Museum Louvre dan lain-lain, bisa dinikmati dari sungai Seine. Membelintang sungai Seine terdapat 37 puluh jembatan yang masing-masingnya cantik dan unik. Perusahaan kapal paling populer pelintas sungai Seine yang membawa pelancong, didirikan tahun 1049 adalah Bateuax-Mouche. Perusahaan ini mengangkut sekitar 2,5 juta penumpang per tahun.
Kota Medan terletak antara 3º.27’ – 3º.47’ Lintang Utara dan 98º.35’ – 98º.44’ Bujur Timur, luas 265,10 km², penduduk 2.460.858 jiwa dengan kepadatan 9,283 jiwa/km2. Kota Metropolitan Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara yang konon dibentuk tanggal 1 Juli 1590. Rasanya penetapan ini agak menggelikan karena pada tahun 1823 saja di daerah yang disebut Medan itu masih berjumlah 200 jiwa. Sama dengan Medan yang di Paris, Medan yang di sini juga dibelah oleh sungai, yakni sungai Deli. Sungai Deli ini konon bisa dilayari hingga ke Deli Tua. Sungai Deli memiliki anak sungai yang dinamakan sungai Babura. Sungai Babura menyatu dengan sungai Deli di sekitar daerah Kesawan sekarang. Tepatnya di belakang kantor Walikota yang berada di bantaran sungai Deli. Di bantaran Sungai Deli terdapat puluhan bangunan baik milik pemerintah maupun milik swasta. Bahkan ada bangunan yang berdiri di atas timbunan tanah yang dulunya adalah aliran sungai yang dialihkan.
Tahun 1863 pengusaha Belanda mendapat konsensi pembukaan hutan untuk perkebunan tembakau di tanah Deli. Para pengusaha yang berkantor di Medan memutuskan untuk membuat kanal yang panjangnya hampir 200 kilometer sebagai drainase pengaman areal perkebunannya. Tanpa mengkaji sejarahnya, Pemerintah Kota Medan menetapkan bahwa kanal-kanal itu sebagai sungai, sehingga kini dikenal dengan Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badera, Sei Sulang Saling atau Sei Kera. Pemerintah Indonesia memperlakukan pengelolaan kanal-kanal itu sebagai sungai. Seharusnya kanal-kanal itu dikelola oleh Pemerintah Kota Medan sebagai saluran drainase sekunder. Sama dengan Medan yang di Parijs, dulu juga banyak seniman, sastrawan dan musisi level Indonesia yang berkiprah di Medan.
Pengusaha Belanda mulai membuka perkebunan tembakau dan sekaligus mulai membangun pusat kota pada daerah Kesawan dengan ketinggian 30 mdpl. Para arsitek yang dibawa dari Belanda terobsesi untuk membangun Medan seindah kota di pinggir sungai Seine, Parijs. Keberadaan sungai Deli mereka anggap cukup potensial untuk meniru kota Medan yang sudah dibangun abad keenam di Parijs. Dengan penuh keyakinan mereka menamakan Medan sebagai Parijs van Soematra. Banyaknya uang dari hasil perkebunan membuat para arsitek Belanda yakin dapat mewujudkan Medan yang di Sumatera akan sama indah kualitasnya dengan Medan yang di Parijs. Sampai kini kita bisa melihat banyaknya bangunan yang dibuat Belanda bergaya Eropa. Bahkan titik Nol Medan juga mereka samakan dengan titik nol Medan-Parijs. Sama-sama 30 mdpl. Lambang yang terpampang di kantor Walikota Medan juga mereka samakan dengan lambang kantor Walikota Parijs.
Sungai Sein di Parijs mendatangkan keuntungan dari segi finansial dan mengisi kenangan jutaan orang yang mengunjunginya. Sungai Deli bagi kota Medan awalnya memang mendatangkan keuntungan. Hulunya berada pada daerah Gunung Sibayak. Daerah tangkapan airnya memasok 600 liter/detik air mata air yang digali dari dinding tebing-tebingnya. Kesinambungan pasokan air dijaga Belanda dengan menjadikan daerah hulu Sungai Deli melalui penetapan kawasan hutan di Sibolangit-Sibayak sebagai kawasan lindung. Di pemerintahan sekarang, kawasan konservasi itu sebagian besar sudah dibiarkan rusak karena hutan dibuka untuk jadi ladang. Humus di lantai hutannya habis dikarungkan untuk jadi pupuk.
PDAM Tirtanadi secara rela dan diam-diam menyerahkan sumber airnya ke perusahaan air dalam kemasan yang berlokasi di Km 55 Medan-Berastagi. Apakah ada kompensasi atau tidak, hanya pengusaha, PDAM dan pimpinan pemerintah propinsi yang tahu. Faktanya, masyarakat Medan kekurangan pasokan air bersih 100 liter/detik. Sementara produksi air dalam kemasan terus melonjak dan harus dibeli sangat mahal oleh masyarakat. Lahan yang rusak menyebabkan tingginya erosi, sehingga pada bahagian hilir terjadi pendangkalan. Banjir kiriman jadi bencana rutin yang harus diderita masyarakat Medan. Sedimen yang menempati sebagian penampang sungai, menyebabkan air naik ke darat. Secara berulang, sebagian daerah pemukinan di bantaran sungai jadi langganan banjir. Bukan tanggung-tanggung, banjir bahkan sampai melewati atap rumah.
Sungai Sein juga pernah mengalami bencana banjir. Penanganan banjir Sei Seine berbeda dengan penanganan Sungai Deli. Mereka tetap jaga penampang sungai Seine dengan mengeruknya. Tujuan utama pengerukan adalah untuk menjaga luas penampang sungai yang menjamin keamanan dan kenyamanan pelayaran. Banjir sungai Deli langsung dibuat proyek dengan membangun tanggul di kiri-kanan badan aliran air sungai. Pembangunan tanggul ini menyebabkan pepohonan pada tepian kiri-kanan sungai Deli punah. Tepian sungai Seine jadi inspirasi dan objek lukisan bagi pelukis Paul Cézanne. Tampilan tanggul sungai Deli membuat kita berpikir apakah perencana tanggul ini tahu atau tidak dengan namanya keindahan tepian sungai.
Objek tamasya dengan perahu melayari sungai Seine mendatangkan jutaan pengunjung. Tidak ada pelancong yang akan melewatkan kesempatan berlayar dengan perahu menikmati pemandangan sepanjang sungai Seine. Wisata jalan kaki sepanjang sungai Seine juga menarik untuk dinikmati pelancong. Para arsitek yang membina Medan akan berduka bila sungai Deli yang diidamkannya sama dengan sungai Seine, ternyata dibiarkan mendangkal oleh pengelola kotanya. Jalan kaki di sepanjang tanggulnya juga bukan pilihan untuk dilakukan. Tak ada satu pun perahu yang melayari sungai Deli untuk tujuan wisata. Rombongan pejabat hanya berlayar ramai-ramai untuk menunjukkan perhatian terhadap sungai Deli yang sering mendatangkan banjir. Itupun sekedar tunjuk simpati diawal jabatan.
Pekerjaan pembangunan tanggul dimulai tahun 1987. Pembangunan tanggul bukan hanya mendangkalkan sungai saja, bahkan muara sungai juga jadi tumpat. Material tanah dan pasir mereka biarkan tertinggal di sungai. Sebagian material yang hanyut ke hilir membuat sedimen di muara sungai yang dikenal dengan Kuala Deli. Kuala Deli adalah pintu masuk ke Istana Putri Hijau di Deli Tua. Cerita tentang Istana Putri Hijau sepenuhnya sudah mereka jadikan dongeng. Anak sekarang tak akan ada satu pun yang percaya sungai Deli bisa dilayari hingga ke Deli Tua. Masuk ke muara sungainya saja sudah tak mungkin. Kapal nelayan tak bisa ke hulu karena tidak jauh dari muaranya ada jembatan yang dibangun syur sendiri. Waktu air pasang perahu tak bisa turun, waktu air surut, kapal tak bisa naik.
Selain karena pembuatan tanggul juga banyak padatan dan sampah yang masuk ke badan air, terutama pada waktu hujan. Material sedimen itu mendangkalkan sungai dan memadati muara sungai Deli yang disebut Kuala Deli. Sedimen di Kuala Deli mengakibatkan air laut tumpah ke darat yang disebut dengan banjir rob. Banjir rob di daerah muara sungai Deli terjadi karena pengelolaan lingkungan penanganan banjir yang mengabaikan dampak negatif kegiatan terhadap lingkungan. Pekerjaan pembangunan tanggul dimulai tahun 1987, selesai tahun 1992 dan Banjir Rob mulai terjadi awal tahun 2000. Tahun 2010 Kuala Deli sudah tertutup sedimen hingga 80% yang 65% adalah plastik. Bila Sungai Seine di Medan-Parijs mendatangkan kesejahteraan serta citra indah bagi pengunjungnya, kesalahan pengelolaan Sungai Deli di Parijs van Soematra justru mendatangkan bencana berkepanjangan bagi masyarakatnya. Medan Parijs van Soematra kini bahkan dikenal sebagai kota banjir. Ada lebih seribu lima ratus titik banjir di kota Medan tahun 2021.
Ide memanfaatkan sungai untuk membangun citra indah sebuah kota seperti Medan dengan sungai Seine di Parijs, ternyata dimanfaatkan Melaka dengan sungai Malaka-nya. Tahun 2008 Melaka dinobatkan Unesco sebagai kota warisan budaya. Melaka berhasil menjadikan kotanya sebagai kota tujuan wisata kesehatan dan kuliner. Dua judul kegiatan yang juga jadi impian bagi Walikota Medan saat ini. Walau hanya sekedar mimpi yang tak tampak usaha mewujudkannya. Melaka berhasil menjadikan sungai Malaka sebagai tujuan wisata sebagaimana Medan-Parijs dengan sungai Seine-nya.
Sepanjang sungai Malaka terdapat 97 hotel serta puluhan objek wisata dan kuliner yang mengajuk hati pelancong untuk menikmatinya. Sungai Malaka dikelola menjadi sungai yang indah, bersih dan terawat. Bagian tepian sungainya ditempati perkampungan yang terawat rapi. Ada juga pemukiman penuh mural eksotik. Di Melaka kita juga ditawari kunjungan ke Museum Maritim, Benteng Formosa, Wisata Alam, Kebun Binatang, Taman Bunga dan lain sebagainya. Waduh, mari memaafkan diri sendiri karena telah menyia-nyiakan karunia ilahi yang bertebar di daerah Parijs van Soematra. Karunia tak ternilai bagi orang lain, jadi sepele dan remah di tangan kita. Tapi weslah, ojo dibanding-bandingke!
Penulis adalah dosen, aktivis lingkungan hidup dan sastrawan.