Membaca, Sastra dan Daya Kritis
Oleh: Dini Usman
Yudistira AM Masardi dalam sebuah diskusi bertema sastra dan kesadaran kritis berbangsa mengatakan, untuk bisa memahami sastra, syarat utamanya adalah senang membaca. Ranah sastra, katanya berada pada aras yang lebih tinggi.
Sastra sebagaimana yang kita tahu tidak bisa dilepaskan dari diri manusia. Ia adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Sebagaimana seni, sastra yang menjadi bagian darinya itu, adalah medium penghantar manusia memahami dirinya dan lingkungannya lebih dalam.
Muncul pertanyaan bernada pesimistis di tengah gelombang arus deras revolusi teknologi komunikasi yang membuat kita tidak lagi kenal batas–dunia ibarat desa kecil, di mana toilet, motif daster atau piyama untuk menutupi tubuh kita saat tidur malam pada hari ini pun bisa kita pamerkan dengan cepat ke seluruh jagad raya melalui siaran langsung di media sosial, jika kita mau, tanpa halangan apa pun–apa iya masyarakat Indonesia suka membaca?
Kemudian kita ajukan lagi pertanyaan, mungkinkah kita mampu bersaing dengan manusia dari mana saja nun jauh di seberang sana dengan gagah berani, bila salah satu persyaratan untuk maju seperti gemar membaca saja pun di kalangan para pendidik dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, para pengambil keputusan di berbagai institusi di negara Indonesia, menurut hasil riset ternyata begitu rendah? Tidaklah berlebihan jika hasil penelitian PBB di 61 negara yang ingin mengetahui tingkat minat baca masyarakat di dunia, menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari bawah dari 61 negara yang diteliti.
Konon pula kita bermimpi, sastra yang memang diyakini mempunyai andil membangun karakter manusia, di mana kesejahteraan para sastrawan yang tak jemu-jemunya menulis dan menyebarkan hasil karyanya untuk bangsa ini, hidupnya kebanyakan masih melarat–disukai atau katakanlah dinikmati sebagaimana mereka menikmati video berdurasi satu ke dua menit tayangan infotainment dan siaran live dari media sosial oleh siapa saja?
Sebuah pepatah Minangkabau agaknya cocok memadankannya. Begini bunyinya: babi jantan beranak jantan; memakan buah si enau gadih; meloncat ke atas batu; berkesan jejak anaknya.
“Anda bermimpi kali ye mau mendapatkan sesuatu? Bagaimana mungkin itu terwujudkan jika sejak awal materi dasarnya sudah tidak memungkinkan. Bagaimana Anda mendudukkan sesuatu bila dasar pijakannya adalah kemuskilan?” kata almarhum A. Yusran, sastrawan senior dalam sebuah kesempatan di diskusi sastra.
Jika dari awal adalah ketidakmungkinan bagaimana mungkin akan menghasilkan sebuah harapan? Jika sejak awal minat membaca saja sudah rendah bahkan nyaris minus, bagaimana mungkin kesadaran kritis di kalangan masyarakat akan meningkat? Lantas bagaimana mungkin bangsa kita akan maju melompat menuju Indonesia emas pada 2045 mendatang? Jika seandainya kita berharap Indonesia maju, namun daya baca masyarakat sangatlah kurang, konon pula mengharapkan sastra sebagai bacaan tingkat tinggi menjadi kegemaran sosial di masyarakat?
Harapan akan kemajuan dan terbangunnya kesadaran kritis bagi masyarakat kita memang seakan mimpi. Kita lihat pada 10 tahun terakhir saat menjelang pemilihan umum, masyarakat kita begitu mudah dibelah oleh provokasi murahan dengan metode kampanye politik identitas. Perpecahan tercipta karena adanya kepentingan oligarki saat menikmati kepentingan pribadi dan golongannya untuk tujuan penumpukan harta, jabatan dan ketenaran tercapai.
Bukankah sejujurnya kita mampu menilai bahwa apa yang pernah terjadi di Indonesia pada beberapa tahun lalu menjelang pemilihan presiden merupakan perbuatan yang sangat menghinakan martabat diri kita sebagai manusia?
Bila membaca menjadi sebuah kebutuhan setiap orang, tak pandang bulu pekerjaannya apa saja (ibu atau bapak rumah tangga, buruh bangunan, pengangkut sampah, pekerja kantoran, pejabat negara, pemegang saham di perusahaan, guru, penulis dan sebagainya), maka boleh jadi kita mampu menjadi bangsa yang punya kesempatan memimpin negeri ini lebih baik. Slogan pulih lebih cepat bangkit lebih kuat itu menjadi nyata. Namun sebaliknya sebagian besar dari kita justru beranggapan bahwa membaca adalah suatu pekerjaan yang buang waktu.
Hari ini dampak kemalasan itu demikian terasa sehingga kita mudah digiring oleh isu-isu murahan. Kita begitu mudahnya membebek, mengikuti apa saja yang sedang trending atau viral hari ini, mulai dari urusan fashion, kecenderungan memiliki pasangan hidup yang harus memiliki harta-kaya-tampan-pejabat sebagai sesuatu yang begitu diagung-agungkan, gaya hidup glamour padahal untuk makan minum secara wajar saja sulit diwujudkan, memilih menu makanan cita rasa luar negeri lebih berkelas ketimbang masakan asli Nusantara dan sebagainya. Kita amat jarang secara serius menyaringnya secara benar lantas memilihnya kemudian. Ini menunjukkan kita kurang mampu, sebab kita tidak bisa membedakan mana kebutuhan, mana kesenangan dan mana cuma sampah.
Apakah kita bisa berharap pada generasi baby boomers kelahiran tahun 1946-1964, generasi X kelahiran tahun 1965-1980, generasi Y yang lahir di tahun 1981-1994, generasi Z di tahun 1995-2010 dus generasi Alpha di tahun 2011-2025? Saya pribadi masih meyakininya jika kita segera sadar mau merubah mindset.
Generasi sekarang akan melahirkan generasi selanjutnya, mereka meneruskan sejarah masa depan. Salah satu cara menghentikan pelbagai persoalan bisa diatasi dengan senang membaca. Begitu juga mendorong arah kemajuan bangsa ini. Masyarakat Indonesia dengan segala ukuran tingkat ekonomi menjadikan smartphone sebagai gaya hidupnya. Padanya segala informasi apa pun bisa dijangkau dengan mudah dan murah, namun dampaknya dahsyat tak terperikan. Semudah dan sedahsyat itulah seharusnya kita memiliki pengetahuan yang tersaring baik dan membuahkan kesadaran, bukan sebaliknya, melahap semua informasi itu seperti banjir bandang yang membuat kita kehilangan kesadaran.
Penulis adalah Ketua Deli Art Community.