Meneropong Prospektus Rezim Prabowo
Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, sejak kemerdekaan diraih pada 17 Agustus 1945. Rezim pemerintah telah membuktikan eksistensinya, baik melalui sistem parlementer maupun presidensial yang datang dan pergi silih berganti. Namun, belum ada satu pun rezim yang berhasil mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata tanpa terkecuali.
Setiap kali terjadi pergantian rezim, rakyat selalu menunggu dengan penuh harapan agar kemakmuran bisa dinikmati secara merata, namun harapan tersebut tetap belum terwujud. Bahkan, ketimpangan sosial-ekonomi semakin terasa semakin dalam, dengan jarak yang semakin jauh antara orang-orang yang berpunya dan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Saat ini, oligarki semakin kentara, mungkin karena media sosial yang terus-menerus mengungkapkan fenomena ini dengan bahasa yang mudah dimengerti dan fakta-fakta yang mudah diakses. Apa yang dulu sulit diakses oleh masyarakat biasa, kini semuanya menjadi begitu mudah. Eksistensi mereka sebagai penguasa ekonomi telah memengaruhi jalannya politik dan merambah ke segala sektor, menjadi penentu dalam pengambilan keputusan yang paling mendasar bagi masa depan bangsa dalam bertahun-tahun yang akan datang.
Pemerintah sebagai regulator seolah tak punya kuasa, tunduk di bawah bayang-bayang gelap kekuasaan oligarki. Ada banyak alasan yang dapat diajukan mengapa setiap rezim sulit sekali memenuhi harapan rakyat.
Setelah terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden dan dilantik pada 20 Oktober 2024, dengan pemilihan umum yang diklaim banyak pihak sebagai yang paling buruk sepanjang sejarah, pemerintahan Prabowo masih sangat muda, berusia kurang dari dua bulan. Namun, rakyat masih berada dalam situasi ketidakpastian.
Apakah rezim ini mampu mewujudkan harapan rakyat? Dalam konteks pemikiran di atas, DAC berusaha menyelenggarakan diskusi tentang prospek rezim Prabowo. Sebagaimana lazimnya, kajian tentang prospek mengajukan pertanyaan hipotetik yang mungkin terwujud atau mungkin tidak.
Basis kajian prospek ini adalah metode proyeksi dengan titik tolak pembahasan berdasarkan data terkini. Berdasarkan baseline tersebut, dibuat proyeksi yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Hasil proyeksi ini kemudian akan dinilai dengan beragam indikator. Kesimpulan proyeksi akan memberi peluang pada rumusan hasil penilaian, apakah jalan di tempat alias stagnan, mengalami kemajuan, atau malah mengalami kemunduran.
Untuk itu, dua pemantik yang berlatar belakang akademisi sekaligus praktisi politik hadir untuk memecah kebekuan dan keraguan itu. Soekirman, mantan Bupati Serdang Bedagai, hadir untuk memberikan pengalamannya menjadi politisi yang berangkat dengan biaya minimal dan kolega yang maksimal, tetapi tidak berhasil duduk di dewan legislatif karena diakuinya bahwa uanglah yang menentukan keberhasilan.
Pengamat politik di lingkaran pengambil keputusan, Awaluddin Thayab, hadir dengan optimisme bahwa pada masa Prabowo akan lahir semacam nasionalisme yang mendorong perubahan dan keberpihakan pada rakyat dapat diwujudkan. Di sisi lain, Dadang Darmawan, pengamat politik di Sumatera Utara, mencermati bahwa rezim saat ini lebih tertarik pada hal-hal bombastis, sementara dana perjuangan untuk mengelola negara berada dalam keadaan keraguan, disertai dengan gemuknya mesin kapal perubahan yang dinakhodai presiden.
Banyak argumentasi dan cara pandang anti-mainstream muncul dalam pertemuan yang menggairahkan itu. Pendapat-pendapat yang dicetuskan oleh masing-masing peserta diskusi, yang berjumlah 15 orang, sangat memberi ruang reflektif terhadap nasib bangsa ini dalam lima tahun ke depan. Optimisme—satu kata yang memberi pelita meski malam kian lambat bergerak menuju subuh.