Pertunjukan Monolog “Di Bukit Caliak”, Kisah Cinta yang Abadi
Barangkali teater sebagai salahs atu seni pertunjukan dewasa ini kurang menarik perhatian banyak orang, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Menepis dugaan itu monolog dengan judul “Di Bukit Caliak” coba dihadirkan di kampus FISIP USU pada Senin, 20 November 2023. Naskah monolog karya Dini Usman ini, disuguhkan oleh Deli Art Community (DAC), sebuah perkumpulan yang berfokus pada pemajuan literasi di kota Medan.
Para pelajar SMA dan SMK, mahasiswa, dosen, seniman dan budayawan di kota Medan memenuhi ruang seminar di lantai dua yang disulap menjadi tempat pertunjukan teater monolog untuk menyaksikan keaktoran Aishah Basar, Kepala SMAN di Tapanuli Tengah, memainkan perannya sebagai Mince yang ditinggal mati Coan, suami yang sangat dicintainya. Pertunjukan monolog yang berdurasi 45 menit ini dengan apik dan mengesankan masih mampu disajikan Aishah yang memulai belajar berteater sejak ia kuliah di IKIP Medan yang kini berubah nama menjadi Universitas Negeri Medan.
Kekuatan penceritaan yang begitu dalam terungkap dalam teks naskah itu menguat dengan penghayatan yang kuat oleh sang aktor. Soekisno Dimas, sebagai supervisi bergandengan tangan dengan penata artistik Hadi Ra untuk memberi kesan yang lebih kuat tentang kerinduan, kenangan-kenangan yang sangat indah, perasaan cinta dan perasaan kehilangan yang sangat menyiksa.
Monolog ini mengambil setting di puncak bukit Bernama Caliak, di samping sebuah pusara yang dikelilingi pepohonan dan bambu-bambu kering. Seorang perempuan acap datang berziarah, membawa aneka bunga untuk ditabur di atas pusara. Ia melalui perjalaan yang sangat panjang untuk mencapai tempat di mana suaminya dimakamkan. Kenangan indah yang luar biasa itulah yang menuntunnya mencapai tempat itu dan mengungkapkan segala keluhannya dengan bebas lepas tanpa tekanan. Ingatan itu diekspresikannya tanpa memedulikan apakah ia akan dituduh gila karena perbuatannya yang tak lazim itu. Silih berganti untaian kenangan manis dipertontonkan sambil menari-nari dengan mengenakan kebaya kesukaannya yang dibelikan dari honor tulisan yang dimuat di koran.
Di balik itu semua, penonton diberi tahu bahwa hubungan mereka semasa hidup sangat hangat dan penuh bahagia, hampir dapat dikatakan nihil kekerasan. Coan seorang penulis, dan Mince yang tidak tamat di perguruan tinggi karena kemiskinan orang tuanya, menemukan sebuah keluarga bahagia yang menghantarkannya memaksimalkan semua potensi yang bisa diteguknya bersama Coan dalam bahtera rumah tangga mereka.
Selain menjadi istri yang baik bagi suaminya, ia memenuhi jiwanya dengan banyak sekali membaca buku dengan harapan bsia menjadi teman diskusi suaminya untuk melahirkan karya-karya yang bernas. Dalam pusaran kehidupan keluarga yang teramat sederhana itu, mereka pun membantu anak tetangganya yang miskin namun mau mengecap pendidikan. Untuk itu Mince membuat aneka keripik untuk pemenuhan kebutuhan karena honor sebagai penulis tentu tak mencukupi.
Semua teks dalam naskah itu meluncur lancar dan berjiwa dari seorang aktor yang kebetulan menjadi kandidat doktor program studi linguistik USU. Dalam pengakuannya usai pertunjukan, Aisah butuh dua minggu untuk menghafalkan keseluruhan naskah. Selesai pertunjukan, guna pendalaman dan pemaknaan, Deli Art Community menggelar diskusi yang dipandu Juhendri Chaniago. Banyak penanggap mengapresiasi ketatnya aturan pertunjukan yang diberlakukan panitia. Hal ini merupakan sesuatu yang berbeda dan belum pernah diterapkan di Medan sebelumnya, misalnya para penonton dilarang bersuara, menghidupkan telepon genggam, memoto, berjalan hilir mudik atau keluar masuk ruangan selama pertunjukan berlangsung.
Tikwan Raya Siregar mengatakan pertunjukan pada monolog “Di Bukit Caliak” jika dikuantifikasi 30 persen mengandung pengetahuan dan 70 persen mengandung perasaan. Sementara Bima, dosen dari Fakultas Sastra Universitas Harapan, Medan mengatakan pertunjukan monolog ini mengandung banyak teks. Tidak hanya teks tertulis yang diverbalkan sang aktor, tetapi ada juga teks lain. Mulai dari kuburan, bambu, bunga, kebaya semuanya adalah teks. Betapa tidak, property yang di-setting atau dipakai, mengandung banyak pesan yang bisa dimaknai penonton.
Juhendry Chaniago yang memandu diskusi ini secara kocak mengajukan pertanyaan yag menggelitik, “Apakah kuburan di panggung pertunjukan ini dapat dimaknai sebagai kematian politik kita hari ini?” tanyanya kepada penonton yang hadir. Para penonton terpaku dengan ucapannya.
Porman Manalu, seorang seniman senior, mengatakan lepas dari semua kekurangan yang mungkin saja telah terjadi, apresiasi dan terima kasih layak diberikan kepada Deli Art Community yang telah mementaskan monolog ini, yang sedikit banyak telah menambah gairah kehidupan berteater di kota Medan.
Frans Zebua, seorang mahasiswa yang menyaksikan monolog dan mengaku bahwa ia pertama kali menonton monolog teater dengan jujur mengatakan bahwa baginya ada satu pesan penting yang ia peroleh setelah menikmati pertunjukan monolog itu, bahwa ia atau semua orang harus bisa menjadi seorang pendekar dalam memperjuangkan kehidupannya sendiri. Hal ini karena ia mendengarkan teks dalam naskah monolog yang berbunyi:
“Tapi bukankah aku ini seorang pendekar dalam kehidupanku sendiri? Sebagai pendekar, aku pasti cepat belajar. Belajar menerima penderitaan ini dengan tulus, sebagaimana ketulusan hatiku menerimamu. Ya, aku memang bahagia bersamamu. Dan mestinya aku tetap menjaga rasa bahagia dalam hati, walau hidupku kini sebatangkara tanpamu, Coan. Aku akan lalui hidupku dengan gagah berani. Akan kulalui hidupku dengan gagah berani! Kau dengar?!”