Seminar Gajah dalam Paradaton Masyarakat Angkola Menyadarkan Kita Bersama
Gajah merupakan hewan yang unik untuk dikaji karena hewan ini sangat erat sekali hubungannya dengan sejarah peradaban manusia. Gajah memiliki banyak dimensi dan perspektif kajian keilmuan. Gajah memiliki kelebihan yaitu sebagai spesies mamalia darat terbesar dan salah satu hewan terpandai di dunia yang memiliki volume otak yang besar.
Mengapa ada ritual penghormatan pada hewan sedemikian rupa bagi suku Batak Angkola? Gajah diberi kain ulos secara khusus oleh para raja dan sesepuh adat yang sengaja berkumpul setelah manortor seraya musik gondang terus berbunyi? Ulos merupakan kain tenun tradisional yang dibuat dengan motof-motif tertentu dan diperoleh secara turun temurun sebagai warisan budaya.
Upacara dan pemberian ulos kepada gajah-gajah di area konservasi itu merupakan sebuah temuan awal Tengku Zainuddin dalam presentasinya di hadapan seratus peserta seminar yang dihadiri oleh mahasiswa, peneliti, budayawan, seniman dan masyarakat umum di gedung seminar FISIP USU, lantai 2 di Jalan Dr. A. Sofyan No. 1 Padang Bulan Medan. Berharap temuan itu bisa ditindaklanjuti oleh para peneliti dan pihak-pihak terkait untuk memperdalamnya. Pertanyaan demi pertanyaan untuk sementara coba dijawab oleh ketiga narasumber yang berhasil dihimpun dalam kegiatan seminar yang difasilitasi oleh Deli Art Community.
Yance, Dosen Antropologi FISIP USU dalam keterangannya menjelaskan bahwa kemungkinan di tahun-tahun mendatang populasi gajah akan terus merosot dan semakin berkurang karena situasi dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung ditambah karena perbuatan spesies homo sapiens (manusia) yang sangat kejam kepada sesama mahluk. Ia dengan percaya diri mengatakan kalau manusialah yang mampu melakukan kekejaman seperti itu, tapi ia juga meyakinkan peserta seminar, manusia bisa mendatangkan kembali melalui hasil riset yang telah diteliti secara serius oleh para ahli dan berkat kecanggihan ilmu biologi molekuker yang didukung ilmu pengetahuan lain untuk mengembalikan mahluk jutaan tahun lalu hidup di muka bumi kembali seperti kambing ibex.
Dari perspektif sejarah, sejak zaman dahulu mamalia darat terbesar ini memiliki arti dan peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Gajah selalu diidentikan dengan ilmu pengetahuan dan konsepsi kerelijiusan. Jika pada masa Hindu-Buddha, sosok gajah dipandang dari sisi religiusitas, didewakan dalam bentuk Ganesha dan Airawata, pada masa sekarang ini, sosok gajah ”didewakan” sebagai simbol atau lambang dari institusi negara.
“Namun hutan tempat mereka hidup dan berkembang biak seperti di pulau Sumatra ini semakin tergerus karena pesatnya pembangunan, sehingga seringkali menciptakan konflik horizontal yang tidak seimbang terhadap para satwa yang dilakukan manusia dari berbagai kepentingan. Manusia memang mengambil wilayah tempat di mana gajah dan kawanannya hidup,” kata Zakarias Yoseph Tien, dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera.
Masyarakat Angkola adalah salah satu suku yang ada di Sumatra Utara. Mereka bermukim di sekitar Pannai atau Padang Bolak, biasa juga dikenal dengan daerah Padang Lawas di sekitar kabupaten Mandailing. Kawasan seluasnya sekira 8.000 km2 yang dialiri oleh sungai-sungai utama seperti sungai Batang Barumun, Aek Siraisan, Batang Pane, Aek Sirumambe, Aek Sangkilon, Aek Haruaya, Batang Onang dan Aek Sihapas. Nama yang merujuk kawasan itu, kata Nasrul Hamdani dari Balai Pelestarian Kebudayaan Provinsi Sumut dalam paparannya tercantum dalam prasasti Tanjore (1108 M), prasasti Batugana atau prasasti Panai, disebut juga dalam Nagarakertagama dengan keterangan letaknya tidak jauh dari Barus, Mandailing dan Minangkabau. Ia menambahkan bahwa ada ritual marroto (melompati gajah) bagi raja yang baru ditabalkan setelah raja sebelumnya dimakamkan. Gajah menjadi simbol para raja di tanah Angkola.
Dini Usman, Ketua Deli Art Community dalam keterangannya mengucapkan, “Semoga seminar ini bisa menyadarkan kita semua khususnya masyarakat di Sumut tentang warisan budaya ini supaya kita beroleh kebijaksanaan dari leluhur melalui relasi intim antara manusia dan gajah yang spesial pada masyarakat suku Angkola. Semoga ini menginspirasi dan bisa memantik penelitian-penelitian sejenis untuk memperkaya dan menambah kebijaksanaan kita sebagai salah satu penghuni planet bumi agar bisa lebih arif menjalin hubungan dengan mahluk lain yang memiliki hak dan kesempatan hidup yang baik bersama,” katanya.