Shibam
Oleh: Fahmi Faqih
Di mana-mana di penjuru dunia ini, ketika kejahatan, permusuhan, sikap saling membenci satu sama lain seakan tiada habisnya, kiranya tak terbayangkan ada sebuah tempat dimana penduduknya lebih suka mengalah ketimbang ribut saling ngotot merasa paling benar sendiri, dimana masyarakatnya lebih mengutamakan memenuhi hak orang lain ketimbang dirinya sendiri. Shibam, kota kecil tandus di negeri Yaman, adalah tempat di masa lalu dengan penduduk seperti itu. Bahkan konon, saking sulitnya mencari orang bertikai, hakim di negeri itu bertanya kepada penduduk kota.
“Mengapa di antara kalian tidak pernah ada pertengkaran?”
Penduduk Shibam menjawab, “Penghuni kota ini telah didamaikan oleh Allah dengan firmannya: “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.” (Asy-Syura, 42:40). Karenanya, apa yang hendak engkau hakimi jika kami telah bersatu?”
Sang hakim, akhirnya hanya bisa masuk keluar kantor setiap hari tanpa ada seorang pun datang berkunjung untuk meminta keputusan sengketa. Sampai suatu hari, setelah menjalani rutinitas menjemukan itu selama empat belas tahun dan merasa tak kuat lagi, hakim berdoa.
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhan yang tak pernah membuat kesia-siaan atas apa yang telah Engkau tetapkan. Datangkanlah satu persoalan di antara penduduk kota ini agar takdirku sebagai seorang hakim ada gunanya.”
Allah memperkenankan doa sang hakim. Keesokan harinya, datang dua orang menghadap. “Ada apa?” tanya hakim. “Kami ada masalah,” jawab salah satu dari mereka. “Alhamdullillah,” sambut hakim gembira. “Selamat datang, selamat datang. Duduklah, dan ceritakanlah persoalan kalian.” Salah seorang dari mereka lalu bicara. “Aku membeli sebidang tanah dari dia ini. Tapi ternyata di dalam tanah itu ada harta karun emas. Pada harta itu terdapat tanda-tanda peninggalan jaman dahulu (masa sebelum Islam). Berarti harta itu adalah rikaz .”
“Benar,” sahut hakim. “Nah, bila itu rikaz, maka sudah seharusnya menjadi hak pemilik tanah pertama. Aku mendatanginya dengan membawa harta itu, namun ia tak mau menerima karena telah menjualnya padaku,” lanjut orang itu. Hakim bingung, tapi ia teruskan. “Sekarang kamu. Bicaralah!” pinta hakim kepada yang satunya. “Yang Mulia, tanah berikut isinya telah kujual, aku tak lagi mempunyai hak atas keduanya. Waktu menjualnya aku tidak mengatakan “kujual tanah ini tanpa harta karun.” Harta itu ada di tanah yang telah kujual, maka sudah seharusnya menjadi milik si pembeli.”
Hakim makin bingung. “Bagaimana pendapat kalian,” kali hakim ia bertanya kepada keduanya.
Mereka menjawab, “Yang Mulia, anda memahami syari’at Allah. Ambillah dan pergunakanlah harta ini.” “Kalian berdua ingin menyelamatkan diri dan membinasakanku? Tidak bisa begitu!” tukas hakim sengit. “Jika demikian, adili kami,” pinta mereka. “Baiklah. Kalian punya anak?”
“Ya, aku punya anak perempuan.” “Kamu?” “Aku punya anak laki-laki.” “Bagus. Sekarang keluarkan seperlima harta itu untuk zakat, karena itu rikaz. Sisanya empat perlima gunakan untuk pernikahan putra-putri kalian. Selesai. Sekarang pergilah kalian dari tempatku,” putus sang hakim.
Fahmi Faqih: penyair, tinggal di Surabaya.