Siklus Kekerasan Memang Berulang, Alimin: Aku Memang Bajingan!
AENG adalah naskah monolog karya Putu Wijaya yang ditulis di tahun 90-an. Naskah ini sudah lama diciptakan penulis yang sangat produktif itu. Konon ketika menuliskan monolog Alimin ini, kabarnya saat ia masih di Amerika. Naskah Aeng dipilih Deli Art Community untuk dipentaskan dalam dua hari berturut-turut pertunjukan monolog di kampus FISIP USU tanggal 20-21 November 2023 bersama naskah Di Bukit Caliak karya Dini Usman yang diperankan Aishah Basar. Dua naskah ini secara teks sangat berbeda, yang satu bercerita tentang keindahan cinta yang dikecap, satu naskah lagi menguak siklus kekerasan yang begitu mengerikan.
Eko Satrio adalah aktor gaek namun ternyata mampu mengusung naskah yang terbilang berat. Diusianya yang tak lagi muda 61 tahun, ia masih bermain dengan sangat energik dalam naskah Aeng. Eko berhasil menggambarkan tokoh dalam naskah monolog dengan elemen-elemen teatrikal yang sangat mewakili teks namun tidak kaku. Ia coba berimprovisasi dengan menyebutkan simbol-simbol kekinian dan berhasil membuat penonton terduduk selama pertunjukan berlangsung kurang lebih satu jam.
Eko memegang, berbicara dan mengangkat sebuah kursi sehingga menciptakan adegan menjadi semakin menarik. Tak hanya itu, karena property di panggung yang tersedia ia juga keluar masuk dari terali penjara. Upayanya itu mampu menghipnotis penonton untuk duduk diam mengikuti keseluruhan pertunjukan hingga berakhir.
AENG bercerita tentang bajingan bernama Alimin. Dia harus berurusan dengan penjara karena membunuh kekasihnya yang serong dengan lelaki lain. Kekasihnya disebut sebagai pelacur, tetapi Alimin tidak peduli akan hal itu, barangkalai ia suka dan tidak ingin diduakan lalu dengan mudah yang menebas leher kekasihnya sekaligus janin dalam kandungannya Ketika ia tahu dirinya dikhianati. Tak hanya itu, ia juga mengakui semua perbuatannya telah membunuh beberapa orang karena suruhan dan memperkosa banyak Perempuan, merampok barang milik tetangga atau siapa saja.
Di dalam penjara ia merenungi dirinya sendiri dan mengakui dosa-dosanya itu. Sejak kecil ia telah melihat ibunya dipukuli bapaknya. Barangkali karena itu Alimin bebas melakukan perbuatan itu tanpa rasa takut secara berulang. Dia juga bertanya pada dirinya sendiri mengapa dirinya yang seorang bajingan kecil harus dipenjara dan dieksekusi, sedangkan para koruptor di negeri ini hanya dihukum ‘ecek-ecek’.
Yoseph Tien dan Riany Sitanggang, dalam diskusi pasca pertunjukan bersepakat mengatakan bahwa apa yang terlihat dari cerita dalam naskah menunjukkan perulangan ceriat berbasis kekerasan, ketika masa kecil melihat kekerasan atau memperoleh kekerasan adalah hal yang biasa, maka selanjutnya dapat dipastikan kekerasan itu akan berulang. Inilah poin penting yang bisa ditarik sebagai kesimpulan, stop kekerasan, karena sekali kita melakukannya akan cenderung untuk mengulangnya kalua tidak ada cara yang efektif untuk mengakhirinya.
Alimin barangkali adalah sebuah refleksi tentang makna merdeka yang ditawarkan Putu Wijaya. Bahwa bajingan seperti dirinya justru sengaja dipelihara untuk menjadi kambing congek bagi bajingan yang sesungguhnya. Bajingan seperti dirinya harus ada agar hidup jelas hitam putihnya. Tidak abu-abu atau tidak kabur antara kebaikan dan kejahatan yang kerap kali menyamar sebagai sebuah kemunafikan.
Deli Art Community sebagai sebuah perkumpulan sejak tahun 2015 memang kerap melakukan diskusi kebudayaan bahklan hampir setiap bulan dengan beragam tema. Sesekali DAC juga memberi suguhan pertunjukan monolog untuk menghibur masyarakat Medan untuk merefleksikan berbagai kejadian dalam bentuk seni pertunjukan. Dini Usman, Ketua DAC mengatakan, “Suguhan pertunjukan monolog dalam dua hari ini terwujud karena dukungan dari Pemko Medan dan lokasi pertunjukan berada di FISIP USU. Kita berterima kasih atas support ini dan berharap ke depan kegiatan serupa dapat diwujudkan kembali di banyak tempat,” harapnya.