Titik Equilibrium, Kemana Segalanya Kembali
Oleh: Tikwan Raya Siregar
Bagaimanakah industri dan keuangan dunia akan berjalan ke depan?
Saya bukan profesor ekonomi, jadi saya akan mengatakan hal-hal nyata dan yang sebenarnya. Ini bukan economics outlook yang dapat dipercaya secara ilmiah. Ini adalah pandangan gaib. Segala hal akan kembali kepada asas keseimbangan, atau kalau tidak maka sesuatu akan roboh, tidak dapat berdiri lagi.
Demikian juga halnya dengan perekonomian. Pasar yang terlalu lama diperkosa dengan monopoli, penciptaan alat tukar yang mengubah utang jadi uang, serta kekuasaan yang mencampuri pasar dan distribusi dengan kepentingan politiknya, mustahil dapat dilanjutkan. Alam memiliki otoritas atas dirinya sendiri. Hukumnya tidak dapat diubah-ubah. Segalanya akan kita bayar, bahkan untuk setiap keping uang yang kita palsukan, dan setiap keping utang yang kita ingkari.
Anda dapat saja menipu diri sendiri dan orang-orang yang mengikuti doktrin ekonomi Anda. Tapi sihir tetaplah sihir. Ia hanya berlaku pada dunia ilusi, tidak pada kenyataan.
Setiap masyarakat sebenarnya terbentuk untuk memelihara sebuah keseimbangan yang mereka sadari. Mereka menyadari bahwa gangguan keseimbangan akan selalu terjadi manakala mereka mulai mengaktifkan kehendaknya. Yaitu kehendak memiliki, kehendak menguasai, kehendak hidup selamanya. Setiap kehendak ini harus dibayar agar keadaannya tetap seimbang. Maka mulailah dilakukan pertukaran-pertukaran. Kekuasaan ditukar dengan pelayanan. Barang ditukar dengan uang atau barang lain yang setara. Menikahi perempuan ditukar dengan mahar. Cinta ditukar dengan pengabdian. Pembangunan ditukar dengan dampak lingkungan. Tidak ada satupun yang gratis.
Para pemimpin masyarakat memelihara keseimbangan ini dengan kekuasaan dan kebijaksanaan. Setiap tindakan kriminal dianggap sebagai perusak keseimbangan sosial. Maka aturan dan hukum diciptakan untuk merestorasi keseimbangan itu. Setiap seseorang lahir, berkembang, hingga meninggal, dianggap dapat merubah keseimbangan. Maka mereka harus membayar dirinya dengan pelaksanaan ritus sepanjang hidup (nujuh bulanan, lahiran, menginjak tanah, remaja, kawin, bikin rumah, sampai meninggal dunia). Semua itu adalah cara membayar (pola transaksi).
Bumi selalu seimbang tanpa manusia. Bumi tidak dapat merusak dirinya sendiri. Tapi manusia bisa. Maka kehadiran manusia di bumi adalah sesuatu yang harus dibayar. Mereka telah berutang sejak awal, dan utang ini adalah perjanjian yang harus ditunaikan kepada Tuhannya. Yaitu penyerahan diri sebagai tindakan memulangkan apa-apa yang dipinjamkan. Sepanjang tidak berserah diri, maka seseorang akan terus membuat kerusakan dan memelihara ketidakseimbangan di bumi.
Masyarakat awal tahu bahwa keseimbangan paling sempurna adalah terjadi pada saat mereka belum menjamah bumi. Maka cita-cita tertinggi manusia adalah keadaan pada awal keberadaan mereka, bukan sesuatu yang diramalkan pada masa depan (idealisme). Awal adalah akhirnya. Akhirnya terletak pada awalnya. Masyarakat yang sadar tidak bermaksud untuk membuat sesuatu yang baru. Mereka bermaksud mewariskan apa yang telah mereka alami dan buktikan. Sehingga dibuatlah tradisi untuk menjaga pengetahuan mereka, agar anak-anaknya memahami tujuan mereka, agar mereka tidak tersesat kemana-mana.
Mereka diajari untuk membayar apapun yang mereka ambil. Untuk itu mereka menciptakan suatu cara jual beli yang adil dengan lingkungannya. Orang Rimba di Jambi selalu membuat suatu upacara untuk penebangan satu pohon. Mereka menyadari bahwa setiap makhluk memiliki makna keseimbangan. Mereka menyebutnya roh-roh, jin, dan seterusnya sehingga mereka tidak berlaku sembarangan padanya. Mereka harus memberikan sesembahan sebagai pertukaran.
Agar pertukaran dalam perdagangan di antara mereka seimbang dalam konteks ekonomi, maka para pemimpin mengatur alat tukar bernama uang. Ia diambil dari sesuatu yang terbaik di antara alat tukar lain. Yaitu suatu benda yang paling murni, dan paling tepat dijadikan sebagai mistar untuk mengukur nilai benda-benda lain. Uang ini menjadi alat distribusi kekayaan, dan selanjutnya menjadi instrumen untuk menciptakan keseimbangan antara yang kaya dan miskin. Setiap masyarakat melakukannya secara khas. Di kalangan Muslimin, mereka menyebutnya zakat harta. Sirkulasi dan distribusi harta ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan agar masyarakat berkelanjutan, demikian juga halnya dengan lingkungan.
Setiap orang harus memelihara keseimbangan. Kalau tidak, maka mereka tidak dapat berdiri. Industri dan keuangan moderen tidak memelihara keseimbangan ini. Para bankir telah mangkir dari utang-utangnya, dan mereka menciptakan alat tukar yang tidak memiliki nilai tukar. Lalu dengan alat itu mereka mengakumulasi kekayaan untuk diri mereka sendiri tanpa membayar. Dunia menjadi limbung. Krisis dan kemiskinan ekstrim menjadi suatu lembaga sosial yang disahkan. Utang menjadi lembaga keuangan yang dilegalkan. Mereka memasukkan lembaga-lembaga ini secara doktrinatif kepada pelajaran ekonomi. Lalu mereka menghitung-hitungnya menurut rumusan yang mereka ciptakan sendiri, yang hasilnya selalu mengkhianati harapannya. Tapi pelajaran ini tetap menghasilkan para profesor yang gagal mengajukan satu pertanyaan kunci, “apakah ini benar atau salah?”
Lalu kembali kepada pertanyaan awal, bagaimanakah industri dan keuangan akan berjalan ke depan? Tidak ada yang lebih pasti dari jawaban, bahwa orang-orang akan kembali kepada apa yang mereka perlukan. Kelebihan-kelebihan pada produksi dan penambahan atas volume keuangan melalui praktik penciptaan uang akan menimbulkan rasa sakit yang besar. Kita mengenalnya sebagai resesi, depresi, krisis, atau istilah lainnya dalam skala yang berbeda. Kita harus membayar kejahiliyahan ini dengan suatu benturan besar secara multi-dimensial, hingga semua orang akan kembali kepada dirinya yang sebenarnya, mengenali kembali apa-apa yang diperlukannya, serta melihat perlunya berdiri dengan tegak sebagaimana orang yang waras.
Kehidupan akan mengalami re-set, tetapi bukan linear terhadap moderenisasi ini, dan bukan ke arah metaverse yang rapuh. Kehidupan akan menagih setiap sen pengkhianatan kita dan kepada setiap hilangnya rasa terimakasih kita pada kebaikan yang disediakan alam.
Ini bukan ramalan. Sudah berapa umat terdahulu yang dihancurkan. Sebagai bukti dan peringatan. Bahkan kita tidaklah lebih baik dari mereka. Mengapa kita lupa dan selalu membebani diri dengan cita-cita yang tidak nyata?
Penulis adalah pemerhati dan praktisi budaya, tinggal di Kampung Mambang, Deli Serdang, Sumatera Utara.